Ternyata Letusan Krakatau Telah Tertulis di Kitab Pujangga Ronggowarsito: “Kitab Raja Purwa”
“Seluruh dunia terguncang hebat, dan guntur menggelegar, diikuti hujan lebat dan badai, tetapi air hujan itu bukannya mematikan ledakan api ‘Gunung Kapi’ melainkan semakin mengobarkannya, suaranya mengerikan, akhirnya ‘Gunung Kapi’ dengan suara dahsyat meledak berkeping-keping dan tenggelam ke bagian terdalam dari bumi”
*
Demikian sepenggal isi Kitab Raja Purwa yang dibuat pujangga Jawa dari Kesultanan Surakarta, Ronggowarsito. Salinan kitab itu masih tersimpan rapi di Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Kitab itu diterbitkan tahun 1869 atau 14 tahun sebelum letusan Krakatau (Inggris: Krakatoa volcanoes) pada 27 Agustus 1883.
Penyebutan “Gunung Kapi” tak banyak dikenal pada periode itu sehingga
tulisan Ronggowarsito membingungkan banyak kalangan. Namun, deskripsi
berikutnya dalam buku itu semakin mirip dengan peristiwa tsunami saat
Krakatau meletus pada 27 Agustus 1883:
“Air laut naik dan membanjiri daratan,
negeri di timur Gunung Batuwara sampai Gunung Raja Basa dibanjiri oleh
air laut; penduduk bagian utara negeri Sunda sampai Gunung Raja Basa
tenggelam dan hanyut beserta semua harta milik mereka.”
Penggambaran Ronggowarsito ini mengusik kesadaran Gegar Prasetya,
ahli tsunami dan kelautan. “Apakah tulisan Ronggowarsito ini semacam
ramalan atas peristiwa akan datang (letusan Krakatau 1883) atau dia
menggambarkan peristiwa letusan Krakatau di masa silam?” kata Gegar.
Mantan peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)
ini menemukan naskah Ronggowarsito saat melakukan penelitian di
perpustakaan Universitas Leiden (Belanda) untuk menyelesaikan program
doktoral.
“Saya membaca buku Ronggowarsito yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Padahal, aslinya beraksara dan berbahasa Jawa. Sebagai keturunan Jawa, hal ini sebenarnya memalukan,” kata dia.
Dari catatan Ronggowarsito yang penuh misteri ini, akhirnya Gegar berkeyakinan bahwa Krakatau pernah meletus sebelum tahun 1883.
Apalagi di buku edisi kedua yang diterbitkan pada 1885 atau dua tahun
setelah letusan Krakatau, Ronggowarsito menulis penanda tahun dan
deskripsi lokasi Gunung Kapi yang bisa dipastikan adalah Krakatau,
” …di tahun Saka 338 (416 Masehi)
sebuah bunyi menggelegar terdengar dari Gunung Batuwara yang dijawab
dengan suara serupa yang datang dari Gunung Kapi yang terletak di
sebelah barat Banten baru…”
Peta Terakhir Jelang Letusan Dahsyat Krakatau
Setelah 200 tahun tertidur, pada 19 Mei 1883, Batavia (Jakarta)
dikejutkan dengan dentuman keras, melebihi bunyi meriam terkeras.
Kaca-kaca jendela bergetar hebat bahkan jam dinding berhenti berdetak
karena sapuan gelombang kejut. Abu dan batu apung berjatuhan di Selat
Sunda, menggiring orang untuk melongok ke puncak Perbuatan, salah satu
puncak di pulau gunung api Krakatau, yang tiba-tiba meletus.
Namun, setelah kegaduhan itu, Krakatau kembali tenang. Pulau dengan
tiga kawah itu tidur tenang, dikitari laut biru yang dalam. Setelah hari
keempat berlalu dengan damai, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik
s’Jacob menyimpulkan saat yang bagus untuk melihat Krakatau dari dekat,
melihat apa yang terjadi, dan yang lebih penting lagi: untuk
menyimpulkan apakah kejadian serupa bisa terulang kembali. Dia mengutus
insinyur pertambangan, AL Schuurman, pergi ke sana.
Berbeda dengan kekhawatiran s’Jacob, perusahaan pelayaran The
Netherlands Indies Steamship Company melihat Krakatau sebagai potensi
besar untuk mendatangkan turis sehingga dengan sigap menyodorkan kapal
wisata, Gouverneur-Generaal Loudon.
“Pada Sabtu, 26 Mei, perwakilan perusahaan menempelkan pengumuman di
klub Harmonie dan Concordia, mengiklankan ‘wisata menyenangkan’ dan
mengumumkan harga yang kompetitif sebesar hanya 25 guilder,” tulis
Winchester.
Pada Minggu sore, kapal uap berbobot mati 1.239 ton itu terisi penuh
dengan 86 penumpang dan Schuurman berada di antara mereka sebagai wakil
dari pemerintah. Setelah berlayar semalaman, kapten Loudon, TH Lindeman,
membuang sauh jauh dari pulau itu. Dia meminjamkan perahu kepada
Schuurman. Ditemani beberapa orang yang berani dan penuh rasa ingin
tahu, Schuurman mendekati pulau dengan susah payah.
“Dengan mengikuti jejak orang yang paling berani atau mungkin yang
paling tolol, kami mendaki lebih jauh tanpa halangan apa pun selain abu
yang ambles di bawah kaki kami. Jalannya berada di atas bukit dari mana
kami bisa melihat beberapa pokok pohon yang patah mencuat dari lapisan
abu, beberapa tonggak menunjukkan bahwa cabang-cabangnya direnggut
dengan paksa,” tulis Schuurman.
Kelompok kecil ini terus merangsek naik dengan nekad hingga mendekati
dasar kawah, yang menurut Schuurman tertutup oleh “kerak buram
berkilat-kilat,” yang kadang-kadang membara merah dan mengeluarkan
”gulungan asap dalam gelembung-gelembung raksasa yang banyak tetapi
rapat”. Schuurman akhirnya kembali ke Loudon setelah Lindeman
berkali-kali membunyikan klakson.
Dua bulan kemudian Krakatau berangsur dilupakan. Hingga pada 11
Agustus, kapten angkatan darat Belanda, HJG Ferzenaar, diperintahkan
menyurvei Krakatau untuk kepentingan topografi militer. Dia melewatkan
dua hari di sana dan mencatat ada 14 lubang semburan di atas pulau itu.
Ia membuat peta pulau itu secara detial, termasuk titik-titik berwarna
merah yang menjadi pusat semburan.
Dia memberi catatan bahwa survei yang lebih rinci “harus menunggu
sampai nanti, sebab pengukuran di sana masih sangat berbahaya;
setidaknya, saya tidak akan suka menerima tanggung jawab mengirimkan
seorang surveyor.”
Namun, Krakatau tidak pernah bisa dipetakan lagi. Pada 27 Agustus
1883, pulau ini meledak dan hancur berkeping-keping. Peta Pulau Krakatau
yang dibuat Ferzenaar adalah yang terakhir yang pernah dibuat.
Ledakan berkekuatan 21.574 kali bom atom (De Neve, 1984) itu tak
hanya menghancurkan tubuh Pulau Krakatau. Kehancuran juga melanda
pesisir Banten dan Lampung. Gelombang awan panas dan tsunami melanda,
menghancurkan desa-desa di pesisir Banten dan Lampung, serta menewaskan
lebih dari 36.000 jiwa.
Kengerian itu digambarkan oleh Muhammad Saleh dalam Syair Lampung
Karam, satu-satunya laporan pandangan mata yang dibuat pribumi tentang
letusan Krakatau. Muhammad Saleh lewat bait syairnya menggambarkan di
atas langit terlihat seperti bunga api beterbangan seperti bahala yang
diturunkan Tuhan dan membuat hati takut bukan kepalang. Kegelapan
menyelimuti, guncangan gempa tiada henti, dan datang gelombang
menghanyutkan. “Besar gelombang tidak terperi, lalulah masuk ke dalam
negeri, berlarian orang ke sana kemari…,” tulis Muhammad Saleh.
Petaka Krakatau itu menambah derita rakyat yang beratus tahun
disengsarakan ekonomi kolonial dan priyayi pribumi yang mengisap. “Tak
disangsikan lagi bahwa wabah penyakit ternak dan wabah demam, serta
kelaparan yang diakibatkannya, dan letusan Gunung Krakatau yang
menyusul, telah menjadi pukulan hebat bagi penduduk,” tulis Sartono
Kartodirdjo, dalam buku Pemberontakan Petani di Banten 1888.
Menurut sejarawan terkemuka ini, “… letusan Gunung Krakatau
menyebabkan luas tanah yang tidak dapat digarap menjadi lebih besar
lagi, terutama di bagian barat afdeling Caringin dan Anyer.” Kondisi
kesengsaraan yang kemudian bertemu dengan gerakan sosial-keagamaan ini
menjadi pemantik kesadaran rakyat untuk melawan Belanda, yang dianggap
sebagai pendosa dan biang dari segala kesengsaraan itu.
Dua bulan setelah letusan Krakatau, kerusuhan pecah di Serang.
Seorang serdadu Belanda ditikam, pelakunya kabur di tengah keramaian.
Kejadian berulang sebulan kemudian. Serentetan perlawanan terhadap
Belanda terus dilakukan hingga pada Juli 1888 muncullah pemberontakan
petani Banten.
Penemuan Telegram Kabarkan Dahsyatnya Letusan Krakatau
Tsunami yang menyebar luas ke berbagai penjuru dunia pada 27 Agustus
1883 juga terdeteksi dengan cepat bahwa sumbernya Krakatau. Sepanjang
tanggal 27 Agustus dan sehari setelahnya, telegram dari Batavia
(Jakarta), 160 km dari Krakatau yang berkali-kali dikirim ke Singapura.
Dari sana kabar kemudian menyebar jauh hingga ke Inggris.
Bunyi telegram menyebutkan kepanikan suasana di Jakarta waktu itu.
“Batavia saat ini hampir gelap gulita lampu gas menyala sepanjang malam
tak dapat berkomunikasi dengan Anjer (Anyer), beberapa jembatan hancur,
sungai-sungai meluap karena gelombang laut yang menuju daratan,”
demikian isi telegram yang dikirim pada sore hari, 27 Agustus.
Kemudian, pukul 11.00 pada 28 Agustus, sebuah telegram kembali
diterima di Singapura, “Anjer, Tjeringin, dan Telok Beting hancur
lebur.” Setengah jam kemudian kabar buruk kembali dikirim, “Mercusuar di
Selat Sunda menghilang.”
Berikutnya, telegram itu mengirim informasi lebih detail tentang
gelombang laut setinggi 40 meter yang menghanyutkan terumbu karang
seberat 600 ton ke daratan Anyer. Disebutkan, sedikitnya 36.417 orang
tewas, sebagian besar karena gelombang tsunami, dan 165 desa hancur.
Berita yang cepat menyebar itu tak membuat warga Australia bagian
selatan, Perth, Colombo, dan Rodriguez (sejauh 4.800 km), harus lama
bertanya-tanya tentang suara gelegar letusan yang terdengar dari rumah
mereka pada 27 Agustus. Demikian halnya warga dunia menjadi cepat tahu
bahwa tsunami yang melanda pantai Sri Lanka dan perubahan tinggi
permukaan air laut di Selandia Baru, Alaska dan Saluran Inggris pada
hari itu adalah dampak Krakatau.
Para meteorolog dunia juga dengan cepat menghubungkan bahwa cuaca
dingin yang terjadi sepanjang tahun 1883 hingga paruh pertama 1884
adalah berkat letusan Krakatau.
Awan dari abu vulkanik naik ke atas mencapai ketinggian 50-80 km dan mengitari bumi dengan kecepatan jet beberapa kali.
Suhu udara menjadi lebih dingin akibat sinar matahari terhalang abu
vulkanik lebih dari satu tahun lamanya di beberapa wilayah bumi.
Volume material yang dikeluarkan diperkirakan sekitar 18-21 kilometer
kubik yang terdiri dari 9-10 kilometer kubik batu-batu berat.
Letusan Krakatau merupakan bencana besar pertama di dunia yang
terjadi setelah jaringan kabel telegraf menyambung di seluruh dunia. Dua
belas tahun sejak Samuel Morse pada 24 Mei 1844 mengirimkan pesan
pertama dari gedung Mahkamah Agung di Washington kepada koleganya Alfred
Vail, di Baltimore, telegram sudah disambung ke istana besar di
Buitenzorg ke kantor-kantor di Batavia. Jawa kemudian terhubung ke dunia
internasional sejak 1859, melalui Singapura, sehingga berita letusan
Krakatau bisa dengan cepat menyebar luas.
Letusan Krakatau dalam Catatan
Saat letusan Gunung Krakatau tahun 1883, teknik pendokumentasian
canggih seperti sekarang belum ada. Sekalipun seismograf mulai
dikembangkan, belum ada jaringan yang mendunia, apalagi seismograf yang
beroperasi dalam radius 5.000 kilometer dari Krakatau ataupun teknologi
satelit.
Rekaman suara, seperti telepon dan radio, telah ditemukan, tetapi
belum digunakan di belahan timur dunia. Teknologi film sudah lahir,
tetapi belum fleksibel dan mudah dibawa seperti saat ini. Keterbatasan
ini membuat dokumentasi melalui tulisan lebih banyak tersedia.
Korespondensi, jurnal, dan berita koran merupakan rekaman utama
peristiwa letusan Krakatau.
Catatan-catatan dikumpulkan oleh Tom Simkin dan Richard S Fiske dalam bukunya, Krakatau 1883: The Volcanic Eruption and Its Effects.
Sementara satu-satunya tulisan pribumi tentang letusan itu termuat
dalam “Syair Lampung Karam” yang dialihaksarakan Suryadi Sunuri. Berikut
beberapa ringkasan catatan tersebut.
Catatan Kapten Johan Lindeman yang membawa Kapal Governor General
Loudon melalui Selat Sunda. Kapal berangkat dari Batavia membawa
rombongan sebanyak 86 penumpang menuju Krakatau.
Minggu, 26 Agustus 1883, kapal mulai dihujani abu dan batu apung.
Angin mulai bertiup kencang dan kapal berjuang melewati Krakatau, lalu
melepas jangkar di dekat Teluk Betung, Lampung. Senin, 27 Agustus,
sekitar pukul 7 terlihat gelombang besar yang kemudian tumpah dan
menyapu daratan. Dengan tenaga uap, kapal menuju Anyer, sementara hujan
lumpur dan abu membuat lapisan tebal dan orang sulit bernapas.
Suasana semakin gelap, dan pukul 10.30 pagi kegelapan total segelap
malam menyelimuti. Disusul angin topan dan gelombang tinggi setinggi
surga (langit) dan membuat orang-orang khawatir bakal terkubur
gelombang, namun kapal terus melaju dengan kepala kapal menghadap ke
gelombang. Sore hari, angin mereda. Kegelapan menyelimuti hingga subuh
pukul 4 keesokan harinya, 28 Agustus. Hari itu, sekitar pukul 6.50 sore,
sampai dengan selamat di Teluk Bantam. Dalam perjalanan pulang itu,
terlihat bagian tengah Krakatau telah menghilang.
Laporan koran Java Bode. Senin 27 Agustus 1883, tiba-tiba,
sekitar pukul 9, langit menjadi gelap. Orang-orang tidak bisa melihat
dalam jarak dekat dan lilin-lilin pun dinyalakan. Abu mulai berjatuhan,
sementara langit di bagian barat tampak cahaya kekuningan. Telegram
pertama diterima dari Serang yang mengabarkan letusan Krakatau.
Letusannya terdengar dan pijaran apinya terlihat pada malam hari di
Serang. 28 Agustus 1883, dari Serang datang kabar kondisi hujan abu dan
korban jiwa di Anyer.
GF Tydemann adalah seorang letnan kapal perang Koningin Emma der
Nederlander. Tydemann menceritakan kedatangan tsunami. Pukul 9.30 pagi,
kegelapan mulai menyelimuti. Tekanan udara di dalam kapal berubah
drastis, menimbulkan tekanan aneh di telinga. Sementara itu, hujan abu
semakin tebal. Bukan tekanan angin ternyata, melainkan tekanan air yang
mengganggu kapal hingga pukul 12.00 siang. Air mulai naik dengan cepat
sebelum sore hari. Begitu cepat dan tingginya sehingga segera menyapu
bagian atas dermaga. Dan tiba-tiba air bergulung menuju permukiman, dari
sana terdengar teriakan dan tangis ketakutan. Orang-orang dalam
paniknya berusaha memanjat apa pun yang mengambang, ke kapal-kapal di
dermaga, kapal uap pemerintah Siak, dan akhirya juga ke kapal Tydemann.
Satu-satunya kesaksian pribumi ditulis Muhammad Saleh dalam bentuk
“Syair Lampung Karam”. Ahli filologi dan dosen/peneliti di Universitas
Leiden, Suryadi Sunuri, mengalihaksarakan naskah yang aslinya ditulis
dalam bahasa Arab-Melayu (Jawi). Setelah meneliti syair itu, Suryadi
berpendapat, pengarang menulis syair itu di Kampung Bengkulu yang
kemudian dikenal sebagai Bencoolen Street di Singapura. Muhammad Saleh
menyatakan datang dari Tanjung Karang, Lampung, dan mengaku menyaksikan
langsung malapetaka akibat letusan Krakatau. Boleh jadi Saleh mengungsi
ke Singapura lantaran bencana itu. Berikut penggalan syairnya yang
menceritakan kedahsyatan letusan Krakatau:
….Di dalam hal demikian peri,
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya ,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya…..
Berbunyi meriam tiga kali,
Kerasnya itu tidak terperi,
Bertambah gentar seisi negeri.
Isi negeri sangat ketakutan,
Kerasnya bunyinya tiada tertahan,
Turunlah angin sertanya hujan,
Mengadang mata umat sekalian
Banyaklah lari membawa hartanya ,
Di dalam perahu, sampan, koleknya,
Dipukul gelombang hilang dianya
Harta, perahu, habis semuanya…..
Kebangkitan Kembali Roh Krakatau dari Dasar Laut
Kebangkitan roh Krakatau itu awalnya dilihat oleh sekelompok nelayan
pada suatu sore, 29 Juni 1927. “Dengan suara bergemuruh,
gelembung-gelembung gas yang sangat besar mendadak menyembul ke
permukaan laut,” tulis Simon Winchester (2003), menggambarkan kemunculan
gunung baru dari bekas kaldera Krakatau, “Gelembung-gelembung itu
meledak menjadi awan-awan yang menyemburkan abu dan gas belerang yang
berbau busuk.”
Mendengar kabar samar dari warga, pada Januari 1928, geolog Belanda,
JMW Nash, datang ke bekas kaldera Krakatau. Dia pun menyaksikan
munculnya pulau baru atau lebih persisnya lapisan pasir berbentuk
separuh lingkaran sepanjang sekitar 10 meter. Di pusat lengkungan, dia
melihat gundukan batuan setinggi 8,93 meter di atas permukaan laut yang
masih berasap. Lapisan pasir ini merupakan embrio kelahiran pulau gunung
api yang diberi nama: Anak Krakatau. Gundukan yang menjadi pusat
semburan itu kemudian terus menyembul ke atas dan menjadi kawahnya.
Kemunculan Anak Krakatau persis dengan ramalan Verbeek. Pada 1885,
setelah beberapa kali kunjungan ke Krakatau, dia memperingatkan tentang
kemungkinan kebangkitan roh Krakatau, “…jika gunung api ini melakukan
aktivitas baru, diperkirakan pulau-pulau akan muncul di tengah cekungan
laut yang dikitari oleh puncak Rakata, Sertung, dan Panjang, sebagaimana
Pulau Kaimeni muncul dalam Kelompok Santorini, dan persis sebagaimana
kawah Danan dan Perbuatan itu sendiri dulu dibentuk di laut di dalam
dinding-dinding kawah purba.”
Kelahiran kembali Anak Krakatau pasca-kehancuran 1883 menguatkan
kisah tentang Proto Krakatau. Spekulasi ini awalnya disampaikan oleh
George Adriaan De Neve yang menduga kaldera kuno Krakatau meledak pada
abad ketiga masehi. Dia mendasarkan dugaannya pada dokumen sejarah dan
deposit vulkanik yang terdapat di bawah laut Selat Jawa.
“Ada bukti bahwa jauh sebelum letusan 1883—barangkali 60.000 tahun
yang lalu atau sebelum itu—ada sebuah gunung yang jauh lebih besar yang
oleh beberapa orang geolog disebut Krakatau Purba yang mereka yakini
setinggi 6.000 kaki dan terpusat di sebuah pulau yang nyaris bundar
sempurna, dengan diameter 9 mil,” sebut Winchester.
Namun, sebuah letusan dahsyat meluluhlantakkan pulau itu sehingga
terbentuk gugusan pulau yang terdiri dari empat buah pulau kecil. Di
ujung utara gugusan itu ada dua pulau karang yang rendah dan berbentuk
bulan sabit, yang di timur disebut Panjang dan di sebelah barat disebut
Sertung. Di dalam lingkaran yang dibentuk kedua pulau tadi, terdapat
Polish Hat, yaitu potongan kecil batuan vulkanik, dan sebuah pulau yang
terdiri dari tiga puncak, yaitu Rakata di puncak selatan, Danan di
bagian tengah, dan Perbuatan di utara.
Keberadaan pulau-pulau ini sebelum letusan 1883 memang tak
terbantahkan. Dari laporan-laporan perjalanan penjelajah Barat,
pulau-pulau itu dulunya telah dihuni. Kapal Resolution dan Discovery
yang dipimpin penjelajah Inggris terkenal, Kapten James Cook, pernah
berhenti di Pulau Krakatau dua kali. Kedua kapal itu sedang dalam
perjalanan mencari dunia selatan. Seperti yang dicatat oleh kolega Cook,
botanikus Joseph Banks, pada Januari 1771, “Di malam hari membuang sauh
di bawah pulau tinggi yang di kalangan para pelaut disebut Cracatoa dan
oleh orang-orang India Pulo Racatta.”
Banks melanjutkan laporannya, “… pagi ini ketika bangun kami melihat
ada banyak rumah dan pohon-pohon perkebunan di Cracatoa, jadi barangkali
kapal bisa menambah bekal di sini.” Enam tahun kemudian Cook kembali
singgah di sana dan masih menemukan desa-desa dengan ladang lada dan
aneka tanaman lainnya.
Jauh sebelum para geolog berspekulasi soal keberadaan Proto Krakatau,
orang-orang Jawa kuno sebenarnya telah memiliki keyakinan tentang
keberadaan gunung ini. Bahkan, dalam mitologi Jawa, konon, Pulau
Sumatera dan Jawa awalnya masih menyatu. Letusan Krakatau dianggap telah
memisahkan daratan ini hingga menjadi dua pulau, seperti dituturkan
dalam Kitab Raja Purwa yang ditulis pujangga Surakarta, Ronggowarsito,
pada tahun 1869.
Alkisah, daratan Jawa dan Sumatera waktu itu masih menyatu. Suatu
ketika, Sri Maharaja Kanwa, yang memimpin tanah Jawa, terbawa angkara
dan menikam seorang pertapa yang bernama Resi Prakampa hingga tewas.
Seketika itu juga Gunung Batuwara terdengar bergemuruh. Gunung Kapi—nama
lama Krakatau—mengimbanginya dengan letusan dahsyat, keluar apinya
merah mengangkasa, guruh guntur, air pasang menggelora, lalu datang
bencana berupa air bah dan hujan lebat. Nyala api yang merah membara
tidak terpadamkan oleh air, malah semakin besar. Gunung Kapi runtuh
bercerai-berai masuk ke dalam bumi.
Air
laut menggenangi daratan, mencapai Gunung Batuwara atau Gunung Pulosari
ke timur hingga Gunung Kamula, Gunung Pangrango atau Gunung Gede, dan
ke barat hingga Gunung Rajabasa di Lampung. Ketika laut telah surut
kembali, Krakatau dan tanah-tanah di sekitarnya telah menjadi lautan. Di
bagian barat laut dinamakan Pulau Sumatera dan di bagian timur
dinamakan Jawa.
Narasi dalam Kitab Raja Purwa ini, bagi sebagian ilmuwan Barat
hanyalah dongeng yang awalnya dipandang sebelah mata. Kitab ini nyaris
tak pernah menjadi rujukan penelitian tentang Krakatau. Namun,
belakangan, temuan lapisan endapan yang jauh lebih tua dibandingkan
letusan 1883 menguatkan bahwa Krakatau pernah meletus sebelum tahun itu.
“Sebelum pembentukan kaldera 1883, Krakatau minimal dua kali meletus.
Kami menemukan dua kelompok hasil letusan kaldera di bawah lapisan
endapan yang terbentuk pada tahun 1883, lokasi persisnya di singkapan
timur-tenggara Pulau Rakata dan Panjang,” kata Sutikno.
Pendataan karbon yang dilakukan oleh Haraldur Sigurdsson tahun 1999
menemukan, di bawah endapan akibat letusan 1883 terdapat endapan yang
terbentuk pada tahun 1215 masehi dan 6600 sebelum masehi.
Ahli tsunami, Gegar Prasetya, juga meyakini keberadaan Krakatau Purba
yang pernah meletus jauh lebih hebat dibandingkan letusan tahun 1883.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan “dongeng” tentang pemisahan Jawa dan
Sumatera akibat letusan Krakatau itu adalah kenyataan geologi.
Ken Wohletz dari Los Alamos National Laboratory telah membuat
simulasi tentang kemungkinan pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera itu
akibat letusan leluhur Anak Krakatau. Kesimpulannya, letusan super
(supereruption) berskala 8 dalam indeks letusan gunung api (volcanic
explosivity index /VEI) sebagaimana letusan gunung api super
(supervolcano) Toba di Sumatera Utara bisa sangat mungkin pernah terjadi
di Krakatau.
Tak gampang membayangkan bagaimana kedahsyatan letusan Proto Krakatau
itu, mengingat letusan Krakatau pada 1883 saja sudah sedemikian
mengerikan dan menimbulkan petaka tak terperi.
(KOMPAS.COM, Tim Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Yulvianus Harjono, C Anto Saptowalyono. Litbang: Rustiono)
Di Tahun Yang Sama Saat Krakatau Meletus, Sebuah Komet Melintas Dekat Sekali Dengan Bumi
Ilmuwan dan para astronomer sangat yakin bahwa sebuah komet sedang
mendekat dengan Bumi pada tahun yang sama disaat gunung Krakatau
meletus. Perlu diingat bahwa ini komet dan jauh lebih besar, bukan
asteroid.
Menurut Bronilla, salah satu astronomer dari Meksiko menyatakan,
berat komet adalah jutaan ton, dan berjarak hanya 600 – 8000 kilometer
saja dari permukaan Bumi.
Dan berukuran lebar sekitar 50 kilometer dengan panjang hingga 800 kilometer!
Para ilmuwan percaya bahwa komet sebesar tersebut sama dengan ukuran
komet yang memusnahkan dinosaurus puluhan juta tahun yang lalu, yaitu
seberat delapan kali dari komet Halley.
Sebagai bukti adalah ketika foto komet diambil pada 1883, sempat digembar-gemborkan sebagai bukti fotografi pertama UFO.
Namun para ilmuwan dari Universitas Nasional Meksiko kini meyakini
bahwa kemungkinan benda ini adalah komet raksasa yang nyaris menabrak
bumi dengan kekuatan yang sama besar dengan obyek pemusnah dinosaurus.
Astronom Meksiko, Jose Banilla yang telah mengambil gambar ini telah
memaparkan adanya sesuatu yang melintas di depan matahari pada 12
Agustus 1883.
Ketika dirilis ke publik pada 1886 di Majalah L’Astronomie, benda
yang terlihat dalam foto tersebut disebut sebagai foto pertama UFO.
Sebuah studi yang telah dilakukan oleh Universitas Nasional Meksiko
menunjukkan bahwa benda itu adalah sebuah komet yang sedang dalam proses
penghancuran.
“Menurut hipotesa kerja kami, apa yang telah diamati Bonilla pada
1883 adalah sebuah komet yang telah terfragmentasi saat sedang mendekati
permukaan bumi,” tulis Hector Javier Durand Manterola, penulis laporan
tersebut.
“Dengan menggunakan hasil yang dilaporkan Bonilla, kita dapat
memperkirakan jarak obyek yang mendekati permukaan bumi tersebut.”
“Menurut perhitungan kami, jarak obyek yang melintas itu antara 532 km
dan 8.062 km sedangkan lebarnya antara 46m dan 795m.”
Massa utuh komet tersebut kemungkinan mencapai delapan kali massa
komet Halley. Tempo yang dibutuhkan obyek itu untuk melintasi matahari
kalau dikombinasikan dengan lokasi observatorium Bonilla, menurut
perhitungan jarak obyek itu paling jauh sekitar 8.000 km.
Para ilmuwan meyakini bahwa komet itu memiliki massa yang sama dengan
obyek yang telah memusnahkan dinosaurus atau delapan kali komet Halley.